Tantangan Perempuan dalam Arus Politik Perempuan Indonesia

Tantangan Perempuan dalam Arus Politik Perempuan Indonesia
Sinarberitaindonesia.com Pakar politik Yeti susana saat di temui awak media Di Depok, Yeti susana Berpendapat,”perempuan ini tentu disebabkan oleh berbagai macam faktor.(27/9/2023)
Beberapa studi menunjukan kegagalan perempuan menjadi anggota legislatif dikarenakan adanya sistem budaya politik dan sistem rekrutmen oleh partai yang belum menunjukkan keberpihakan kepada calon anggota DPR RI perempuan, dan sistem pemilu proporsional terbuka yang melemahkan calon perempuan ketika akan berjuang mendulang suara
Dalam negara yang menganut sistem nilai patriarki, seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias ke arah membatasi peran perempuan pada urusan rumah tangga.
Kurangnya representasi perempuan dalam bidang politik antara lain disebabkan oleh kondisi budaya patriaki yang tidak diimbangi kemudahan akses dalam bantuk tindakan afirmatif bagi perempuan, seperti pemberian kuota. GBHN, dan berbagai instrumen politik dan hukum tidak secara eksplisit menunjukkan diskriminasi terhadap perempuan namun tidak pula memberikan pembelaan dan kemudahan bagi perempuan dalam berbagai bidang, termasuk politik.
Undang-Undang Dasar 1945, Bab X, Ayat 27 menyatakan bahwa “Semua warganegara adalah sama di hadapan hukum dan pemerintah,” sedangkan Ayat 28 menjamin “Kebebasan berkumpul dan berserikat, dan kebebasan menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tertulis.” Sekalipun demikian, dalam kondisi yang patriaki, perempuan menghadapi beberapa kendala untuk mensejajarkan diri dengan laki-laki dalam berbagai bidang.
Selain itu menurut Yeti susana, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan perempuan sebagai anggota legislatif. Faktor pertama, berhubungan dengan konteks budaya yang ada di Indonesia masih sangat kental dengan asas budaya patriarkinya. Persepsi yang masih ada di nalar masyarakat adalah bahwa dunia politik adalah untuk laki-laki, dan tidaklah pantas bagi perempuan untuk terlibat menjadi anggota parlemen. Faktor kedua, berhubungan dengan proses seleksi yang ada dalam partai politik. Seleksi terhadap para kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai, yang hampir selalu laki-laki.
Di beberapa negara, termasuk Indonesia, di mana kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan masih rendah, pemimpin laki-laki dari partai-partai politik mempunyai pengaruh yang tidak proporsional terhadap politik partai, khususnya dalam hal gender. Perempuan tidak memperoleh banyak dukungan dari partai-partai politik karena struktur kepemimpinannya didominasi oleh kaum laki-laki. Ketiga, berhubungan dengan media massa yang berperan penting dalam membangun opini publik mengenai pentingnya representasi keterwakilan perempuan dalam parlemen.
Keempat, sumber daya finansial yang belum optimal. Dalam terjun kedunia politik, kemampuan secara intelektual yang dimiliki oleh para caleg perempuan saja tidak cukup. Karena dalam hal ini perempuan lemah secara finansial. Sehingga ini perlu didukung oleh partai atau pemerintah. Karena, tidak bisa dipungkiri bahwasanya pemilu yang memiliki indikator berbiaya tinggi di Indonesia. Red : Sinarberitaindonesia.com